Akuntabilitas atau Kepatuhan? Menyoal Budaya Laporan dalam Birokrasi
Oleh: Nurhaerani Tenriwaru, S.A.P., M.A.P [Dosen Ilmu Politik, Universitas Sulawesi Barat]
Dalam riset-riset administrasi publik dan ilmu kebijakan yang pernah saya lakukan, terdapat perbedaan penting antara accountability dan compliance.
Akuntabilitas sejatinya merujuk pada bentuk pertanggungjawaban substantif: menjawab kepada publik mengenai apa yang dilakukan, mengapa dilakukan, dan apa dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, kepatuhan administratif lebih berfokus pada pemenuhan format, prosedur, dan pelaporan sesuai regulasi—tanpa jaminan adanya refleksi atau perubahan nyata dalam layanan publik.
Dalam praktik pemerintahan, istilah akuntabilitas telah menjadi mantra yang begitu sering diucapkan. Hampir setiap instansi publik hari ini berlomba-lomba menunjukkan diri sebagai institusi yang “akuntabel”, biasanya ditandai dengan lengkapnya laporan pertanggungjawaban, indikator kinerja, hingga audit internal yang tertib.
Namun, pertanyaannya: apakah semua itu sungguh mencerminkan akuntabilitas dalam arti yang sebenarnya, atau hanya sekadar kepatuhan administratif?
Fenomena ini tampak jelas dalam birokrasi Indonesia. Dalam banyak studi empiris, seperti yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) maupun akademisi budaya birokrasi lebih mendorong compliance ketimbang substantive accountability. Aparatur didorong untuk memenuhi target laporan, bukan memperbaiki proses. Indikator keberhasilan birokrasi seringkali diukur dari “dokumen lengkap dan tepat waktu”, alih-alih kualitas pelayanan atau kepuasan masyarakat.
Mengapa hal ini terjadi? Salah satu penyebabnya adalah sistem insentif dalam birokrasi yang masih sangat birokratik dan legalistik. Penilaian kinerja, promosi jabatan, hingga predikat “zona integritas” banyak ditentukan oleh kepatuhan dokumen dan audit. Dalam kondisi ini, wajar jika akuntabilitas hanya dimaknai sebagai beban administratif. Alih-alih memperkuat ruang refleksi dan pertanggungjawaban moral kepada publik, birokrasi justru tersandera oleh logika pelaporan yang formalistik.
Akibatnya, kita menyaksikan fenomena: lembaga yang terlihat “akuntabel” di atas kertas, namun tidak menjawab persoalan-persoalan publik secara nyata. Laporan disusun rapi, tetapi pelayanan tetap lambat. Anggaran terserap 100%, tapi dampaknya tidak terasa. Laporan evaluasi program kerap menunjukkan keberhasilan, namun kenyataan di lapangan berbicara lain.
Maka, perlu ada pergeseran paradigma dalam memahami akuntabilitas birokrasi. Kita harus kembali pada makna dasar akuntabilitas sebagai kemampuan dan kemauan birokrasi untuk menjawab kepada warga, bukan semata kepada atasan atau auditor.
Ini berarti menciptakan ruang untuk kritik publik, mendengar suara warga dalam evaluasi program, dan membuka informasi secara substantif, bukan hanya formal.
Dititik ini, riset-riset etnografi dan kajian kelembagaan menjadi sangat penting. Kita butuh pemahaman lebih dalam tentang bagaimana birokrat memaknai tugas mereka, bagaimana tekanan pelaporan mempengaruhi cara mereka bekerja, dan bagaimana akuntabilitas bisa dibangun dari bawahbukan hanya dari regulasi.
Akuntabilitas bukanlah sekadar soal mencatat dan melaporkan. Ia adalah soal menjawab, mendengar, dan bertanggung jawab secara etis kepada publik. Jika birokrasi Indonesia sungguh ingin menjadi institusi yang melayani, maka reformasi tidak cukup berhenti pada sistem pelaporan. Kita harus menggali ulang akar etika publik yang menjadikan tanggung jawab kepada warga sebagai pusat dari seluruh kerja pemerintahan.
Tinggalkan Balasan